Senin, 11 Februari 2008

Segera Menabung Biar Enggak Buntung

Bang ... bing ... bung ... yo, kita ke bank
Bang ... bing ... bung ... yo, kita nabung
Bang ... bing ... bung ... yo, jangan dihitung
Tiap bulan tahu-tahu dapat untung ....

Syair lagu yang sangat berkesan yang dilantunkan Titik Puspa sembari menggandeng anak-anak itu mengingatkan kita akan pentingnya menabung sejak masih kanak-kanak. Menabung memang solusi konservatif agar bebas dari ketergantungan pada pihak lain. Namun, yang kerap terjadi, kita ingin bebas merdeka secara keuangan, tapi disiplin yang rendah dan kegagalan menahan diri dari keinginan bermewah-mewah membuat kita masuk pada “lubang problem” yang sama.

Pak Hardi, pensiunan pegawai negeri, kesulitan memulai sebuah usaha karena ketiadaan modal. Pak Yanto, mantan pegawai yang terkena program pengurangan karyawan di sebuah perusahaan swasta terkemuka, stres akibat dana simpanannya menipis tanpa dukungan income yang baik. Pak Usman, pedagang sayur keliling, kesulitan modal saat harga sayur dari pasar induk meningkat karena biaya transportasi yang tinggi.Mau pinjam ke bank, mengatur cash flow, jaminan usaha, laporan keuangan? "Ah, binatang apalagi semua itu?" pikir mereka. Menyebutnya saja sudah kesulitan. Bagi mereka, para pengusaha kecil (mikro) di sektor informal, yang dibutuhkan adalah dapat dipercaya bahwa mereka mampu melakukan usaha itu.Masalah permodalan dan asal-usulnya ternyata tidak hanya didominasi para pengusaha kecil. Sebab, ternyata negara kita pun dalam makro ekonominya tetap membutuhkan pinjaman dari luar negeri untuk menutup defisit Neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Demikian juga di tingkat pemerintah daerah.Dalam sebuah rekomendasi dari dialog kebijakan yang diselenggarakan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Badan Kerja Sama Pembangunan Regional Sulawesi (BKPRS) di Makassar pertengahan tahun ini disebutkan agar digunakan pos tabungan yang ada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai jaminan pinjaman pemerintah daerah.Rekomendasi itu ditujukan bagi pemerintah daerah yang konsisten kebijakan ekonominya dan memiliki tabungan yang cukup. Catatan ini penting ditambahkan karena tidak semua daerah yang surplus memiliki likuiditas yang banyak. Sebab, bisa saja semua dana yang tersedia telah memiliki pos alokasi dan belum dilaksanakan. Dana ini bukanlah tabungan dan tidak dapat dijadikan sebagai jaminan pinjaman.Ilustrasi di atas menunjukkan pada kita, tidak hanya Pak Hardi yang pensiunan, Pak Yanto yang korban PHK, dan Pak Usman yang pedagang sayur keliling yang mengalami masalah modal dan likuiditas. Ternyata negara dan pemerintah daerah dari tingkat provinsi hingga kecamatan, bahkan desa, mengalami problem serupa.

Namun, semua sepakat bahwa tabungan dapat menjadi solusi efektif untuk membebaskan diri dari masalah permodalan dan likuiditas.Kalangan pemerintah daerah tanggap akan hal ini sehingga mengajukan pilihan pos tabungan sebagai jaminan. Negara pun tanggap dengan mengajukan "tabungan kekayaan alam negeri ini" segabai jaminan pinjamannya. Lantas bagaimana dengan Pak Hardi, Pak Yanto, dan Pak Usman? Apa yang dapat mereka tawarkan sebagai jaminan akan kemampuan mereka mengembalikan pinjaman? Mereka yang bergerak dalam usaha kecil tidak mampu menyajikan laporan keuangan yang "dipercantik" atau membuat proyeksi cash flow yang fantastik. Kita harus punya jawaban untuk hal ini dan saran konservatif yang dipilih adalah menjadikan kegiatan menabung sebagai budaya.Good income, bad income Keadaan yang dialami Pak Hardi, Pak Yanto, dan Pak Usman bukan terjadi sekonyong-konyong dan tidak terelakkan, tetapi lebih pada tidak tersedianya rencana pribadi yang baik. Mari mulai dengan melihat kondisi keuangan kita sendiri saat ini dan kebiasaan kita dalam mengelola keuangan. Apakah kita sudah menghargai dan mensyukuri penghasilan yang merupakan berkat bagi keluarga kita?Dalam konteks keuangan, kita mengenal konsep good income dan bad income. Namun sebenarya, perbedaan keduanya hanya dalam cara pandang dan rasa syukur yang kita miliki atas penghasilan yang kita terima. Beberapa teman yang berpenghasilan besar sering mengeluh masih kekurangan dan menyebutnya my bad income. Namun, banyak juga yang berpenghasilan pas-pasan mensyukuri penghasilannya dan menyebutnya sebagai good income.

Jika kita melongok kembali ke fungsi uang, paling tidak ada tiga peruntukan utama, yaitu sebagai alat transaksi, alat untuk berjaga-jaga, dan tabungan. Umumnya, uang yang kita miliki didominasi kebutuhan transaksi, sehingga sangat sering kita dapati para karyawan atau pegawai menggunakan gaji bulanannya hanya untuk melunasi tagihan kartu kredit dan kebutuhan rutin rumah tangga. Ketika hal semacam ini disampaikan pada seorang sahabat, segera ia bertanya, "Lantas saya mesti menabung atau berinvestasi? Mana mungkin?"Bicara reksadana, investasi dalam sektor riil, atau beli emas rasanya jauh dari harapan para karyawan. Lantas apakah kita bisa keluar dari lingkaran yang menempatkan kita pada pojok yang tidak nyaman untuk pindah pada keadaan yang memiliki kebebasan mengekspresikan dan memberikan penghargaan lebih atas penghasilan yang kita peroleh? Kita mulai mengoptimalisasi kemampuan internal kita untuk menjadikan penghasilan tidak sebagai alat transaksi semata tetapi mampu menjadi tabungan.

Saat hari libur dan sedang santai di rumah, coba perhatikan dompet Anda dan lihat apa saja yang selalu Anda masukkan ke dalam dompet itu. Lihat berapa banyak kartu kredit, kartu ATM, kartu debet, kartu diskon, dan uang tunai yang ada di dompet Anda. Sebagian dari kita mungkin menempatkan uang tunai yang cukup banyak dengan pertimbangan untuk berjaga-jaga, karena semuanya serba mahal dan tidak selalu dapat menggunakan kartu kredit atau memang antikartu kredit.Sebagian lain cukup menempatkan beberapa lembar uang tunai dengan alasan agar tidak merusak dompet dan cukup yakin dengan kartu kredit yang dimiliki. Kelompok ini sering digolongkan sebagai orang-orang modern, walaupun ada beberapa di antaranya masih kurang percaya diri dengan membawa kartu ATM dengan dana yang siap diambil mencapai puluhan juta rupiah.blablablaTidak ada yang salah dengan pilihan tadi, karena hal itu menyangkut style dan rasa aman yang berbeda-beda pada setiap orang.

Hal yang ingin kita sampaikan yaitu bagaimana mengelola dana yang dimiliki secara lebih efektif dan mampu menghadirkan tabungan di luar fungsi uang sebagai transaksi yang sering terjadi. Untuk itu, kita harus bersedia melakukan perencanaan untuk mengelola dana yang selama ini hanya digunakan untuk transaksi dan berjaga-jaga menjadi dana yang mendatangkan hasil.Adapun hasil yang bisa kita nikmati adalah bunga bank, bagi hasil usaha, hasil investasi, dan keuntungan. Kita harus mampu meningkatkan nilai tambah dana yang kita miliki, dari hanya alat transaksi menjadi alat berjaga-jaga yang jika ditempatkan di tabungan harian, akan mendapat bunga yang kecil hingga tabungan yang akan mendapatkan hasil investasi yang lebih besar.Contoh perencanaan untuk mengelola likuiditas misalnya, Anda memiliki tabungan Rp 150 juta. Jika ditempatkan di tabungan harian yang memiliki kartu ATM atau debet, maka Anda akan dapat menariknya sewaktu-waktu. Dana Anda memang sangat likuid, tapi umumnya hanya akan menerima tingkat bunga yang kecil (4 - 6%). Padahal menurut pengalaman Anda, misalnya, untuk kebutuhan berjaga-jaga hanya sebesar Rp 20 juta, siapa tahu suatu saat tiba-tiba anggota keluarga Anda masuk rumah sakit atau kendaraan Anda mengalami kecelakaan.Saran praktisnya, Anda bisa membeli asuransi kesehatan untuk sekeluarga dan asuransi kendaraan untuk melindungi kendaraan dari hal-hal tak terduga. Anda bisa menyesuaikan dengan kebutuhan atau 40% dari biaya kebutuhan jaga-jaga Anda. Dengan asuransi, risiko sudah Anda alihkan pada pihak ketiga dengan dana sekitar Rp 8 juta – Rp 10 Juta. Sisa dana yang ada di tabungan harian menjadi kurang lebih Rp 140 juta. Uang sejumlah itu dapat langsung Anda tingkatkan peranannya menjadi tabungan, investasi, atau penyertaan pada sektor riil.Hasilnya tentu akan sangat mengagumkan ketimbang uang itu Anda tempatkan di tabungan dengan ATM yang Anda bawa ke mana-mana bersama risiko yang tinggi. Selanjutnya, cukup bawa uang tunai seperlunya serta kartu kredit yang memiliki batas kredit yang tidak terlalu besar, agar bisa dikontrol dan terhindar dari risiko kejahatan kartu kredit.

Keberhasilan meningkatkan peran uang Anda memang tidak terlepas dari perubahan paradigma dan persepsi akan uang tunai. Saat kita berhasil menggeser paradigma uang sebagai alat transaksi ke arah alat investasi, maka kita telah mempersiapkan diri menjadi tuan dari “uang-uang tabungan kita" yang bekerja untuk kita 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu. Anda telah menjadi pengusaha dan siap menghadapi keadaan seburuk apa pun dan kebutuhan modal untuk usaha di kemudian hari.Langkah meningkatkan kemampuan internal juga dibuktikan beberapa pemerintah daerah untuk kesejahteraan rakyatnya. Berkunjunglah misalnya ke Kabupaten Tanah Datar di Provinsi Sumatera Barat. Kita bisa mencontoh apa yang dilakukan Wali Nagari Minangkabau yang menjadi nagari berprestasi tingkat provinsi. Di sana Anda akan menemukan kenyataan, tidak satu pun warganya merokok. Dengan kesadaran tinggi mereka menyisihkan uang rokoknya menjadi tabungan.Demikian juga dengan Nagari Singgalang yang menerapkan hari Jumat sebagai hari ibadah dan bebas rokok untuk mencapai kesehatan fisik dan keuangan. Ada juga hukuman bagi penjudi berupa 10 lembar atap seng, perbuatan asusila diganjar hukuman menyetor 15 sak semen, dan kenakalan remaja diberi sanksi berupa kerja gotong royong.Kebijakan di dua nagari itu akan sangat berdampak bagi perekonomian daerahnya. Coba kita hitung, jika bisa menghemat sebungkus rokok sehari yang harganya Rp 7.500,-, maka satu bulan bisa dihemat Rp 225.000,-, dan setahun akan menjadi Rp 2.700.000,-. Jika setahun tidak merokok, maka orang bisa membeli anak sapi, dan jika hal ini terus dilakukan selama 10 tahun akan diperoleh banyak sapi untuk biaya pendidikan anak atau modal usaha.

Kesuksesan untuk mengoptimalkan kemampuan masyarakat di sana sangat nyata, karena tabungan masyarakat di bank meningkat hingga 300% dalam empat tahun. Dengan begitu nagari semakin makmur, karena warganya lebih kreatif dan bisa membuka berbagai usaha dengan dana yang dihadirkan masyarakatnya. Kesediaan masyarakat dengan dukungan Wali Nagari telah mampu menjadikan wilayahnya menjadi percontohan untuk mengoptimalkan kekuatan rakyatnya melalui penghematan dan pemasyarakatan tabungan. Katakan mungkinAnda mungkin punya mimpi untuk menyekolahkan anak hingga jadi sarjana, menikmati hari tua dengan merdeka tanpa perlu tergantung pada bantuan anak- anak, memiliki usaha sendiri, mengembangkan usaha ke arah ekspor, menambah jalur distribusi hingga mampu bermain di tingkat nasional, dan banyak lagi impian yang Anda miliki. Segeralah fokus dan hadirkan mimpi Anda sejak awal, karena waktu berlalu dengan cepat dan tidak pernah menunggu perencanaan yang matang dan dukungan dana yang cukup.Jangan biarkan hidup Anda berlangsung tanpa menyisihkan dana untuk mewujudkan impian Anda. Mulailah memikirkan dan mempertimbangkan kegiatan atau kebiasaan yang selama ini selalu menyedot habis dana Anda. Jika bisa dikurangi, tentu baik. Namun, lebih baik lagi jika dapat dihilangkan dan potensi kerugian yang diakibatkan kegiatan tadi dapat dihilangkan dengan mengakumulasi dana untuk kebiasaan itu menjadi tabungan yang sangat bermanfaat.Menabung memang butuh kesadaran tinggi, keberanian untuk mengambil tindakan, dan tekad yang bulat untuk mengubah nasib di kemudian hari. Ketika kita katakan “tidak mungkin”, maka hal itu akan berlaku. Namun, ketika kita melihat masyarakat di Nagari Minangkabau dan Singgalang yang memiliki sapi banyak dan tabungan yang meningkat hingga 300%, maka kita tersadar bahwa kekuatan itu ternyata ada di dalam diri kita masing-masing. Saat kita bangga membawa kartu ATM dengan saldo puluhan juta dan dana kas di dompet yang tebal, maka kita telah merusak dompet dan dengan sengaja membiarkan dana kita tanpa hasil dan bersedia memikul risiko yang sangat besar dari tindakan ini. Mulailah masuk pada kehidupan modern di mana kita bisa merencanakan pengeluaran dan menyerahkan segala risiko keuangan pada pihak ketiga, sembari menjadi “tuan” atas dana yang bekerja untuk kita.Ingin bergabung dengan kalangan investor pada masyarakat cashless? Tidak susah dan tidak ada persyaratan berat. Cukup tahan keinginan konsumtif Anda dan biasakan menabung untuk meningkatkan peranan dana Anda. Selanjutnya, temui masyarakat investor dan diskusikan instrumen terbaik yang sesuai dengan tingkat risiko yang dapat Anda toleransi.

Menabung, menabung, dan menabung, jika ingin meraih hidup yang lebih bermartabat.

Senin, 28 Januari 2008

Koq Cuaca Masih Belum Menentu ??

Apa beda Sukarno, Yusuf Ronodiputro dan Soeharto ?
Jika ditanya persamaannya, tentu segera bisa kita jawab bahwa ketiganya orang besar dan berjasa untuk negara kita. Lantas bedanya dimana, buanyyaaak sekali tetapi yang Saya ingin tampilkan adalah keadaan ketiganya saat menghadapi kematian.

Jika Bung Karno sepi dan terpisah dari masyarakat dan penyanjungnya, Yusuf Ronodiputro sepi dari publikasi pers dan Soeharto sepi dari kroninya saat memasuki masa kritis. Terpisah dan dipisahkan menggambarkan satu keadaan yang sama walau beda penyebab dan rasanya tidak enak dan menyedihkan. Sebabnya tentunya bermula dari diri sendiri dan akhirnya juga akan dirasakan sendiri karena semua orang hanya dapat menonton dan turut bersedih.

Belajar dari 3 tokoh ini, maka kitapun sadar bahwa kesulitan keuangan dan keadaan kita saat ini sangat dipengaruhi tindakan kita sebelumnya. Apakah kita sudah merencanakan pendidikan anak- anak kita, Biaya liburan, Perbaikan rumah atau kendaraan dan banyak hal penting lainnya. Jika kita menyepelekan perencanaan maka kita akan menerima akibatnya terpisah dari masyarakat kita karena tidak punya transport atau tempat tinggal yang nyaman untuk anak- anak kita. Kita berusaha memilih pemimpin yang bisa membebaskan biaya pendidikan dan kesehatan walaupun itu jargon politik yang akan mengecewakan .

Untuk bisa merdeka maka kita harus mandiri baik secara ekonomi maupun pilihan politik yang akan memampukan kita menghadirkan pilihan yang bijaksana. Hanya dengan kemerdekaan kita bisa membangun silaturahmi yang luas dan bersahabat dengan banyak pihak yang akan menjauhkan kita dari rasa terasing.

Selamat membangun silaturahmi dan sediakan investasi yang cukup untuk kita bisa membangun hubungan sosial yang lebih akrab dan kompak yang merupakan ciri anak bangsa yang dibesarkan dengan dasar negara PANCASILA.

Selamat jalan pak Yusuf dan pak Harto, hari ini kami belajar banyak hal dari contoh yang telah kami lihat dan saksikan dalam panggung kehidupan tokoh-tokoh bangsa

Senin, 21 Januari 2008

Jangan Beli Asuransi Jiwa !!!

Abaikan saja iklan asuransi di media massa, tolak agen asuransi yang minta waktu untuk bertemu, dan tak usah repot-repot mengunjungi kantor perusahaan asuransi, kalau dalam hidup ini anda tidak mempunyai risiko apapun. Tapi persoalannya, siapa dari antara kita yang terbebas dari risiko apapun? Justru karena setiap orang mempunyai risiko, bahkan banyak risiko, kita perlu dengan lebih serius dan teliti mempelajari seluk beluk perasuransian.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak risiko, mulai dari risiko sakit, meninggal dunia, kehilangan penghasilan, PHK, kehilangan aset karena berbagai kemungkinan peristiwa (kebakaran, tabrakan, perampokan, bencana alam). Sebagian cukup besar dari risiko itu mempunyai dampak ekonomis yang bisa dihitung secara matematis seperti keharusan membayar biaya rumah sakit, biaya penguburan, kehilangan penghasilan bagi keluarga yang ditinggalkan, sampai lenyapnya nilai aset yang dimiliki.
Dalam masyarakat tradisional, ada satu mekanisme bersama untuk menanggulangi risiko seperti ini. Di desa-desa di Jawa dulu ada lumbung desa. Di tempat itu setiap petani di musim panen menyetorkan sebagian hasil panen, dan pada musim peceklik seluruh warga desa berhak untuk mendapat santunan dari lumbung tersebut. Di desa ada juga perkumpulan kematian. Setiap warga atau keluarga diwajibkan membayar iuran tahunan, dan setiap warga yang meninggal dunia akan mendapat bantuan biaya pemakaman atau sekadar uang duka yang berasal dari hasil iuran tersebut. Bahkan ada juga kas desa hasil iuran seperti itu yang dipakai untuk membantu anggota masyarakat yang mendapatkan musibah lain. Inilah cara tradisional untuk pengalihan risiko. Masyarakat mengambilalih risiko anggotanya dengan pendekatan sosial tanpa orientasi laba.
Masyarakat modern mengadopsi mekanisme tersebut, tetapi dengan pendekatan komersial, melalui satu mekanisme baru yang disebut asuransi. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa asuransi adalah salah satu mekanisme pengalihan risiko dari satu pihak kepada pihak lain. Untuk pengalihan risiko itu, pihak pertama (tertanggung, nasabah) membayar sejumlah uang yang disepakati (premi) kepada pihak kedua (penanggung, perusahaan asuransi) yang berjanji akan memberikan ganti rugi sebesar yang diperjanjikan kalau suatu saat risiko yang dialihkan itu sungguh-sungguh terjadi. Transaksi pengalihan risiko itu diikat dalam surat perjanjian yang disebut perjanjian polis asuransi. Dalam polis itu dicantumkan secara detil risiko apa saja yang ditanggung oleh perusahaan asuransi berikut besaran premi yang dibayar nasabah dan ganti rugi yang mungkin diberikan oleh perusahaan asuransi.
Sebagaimana umumnya sebuah transaksi, kedua belah pihak tentu saja berharap untuk mendapatkan manfaat dari transaksi yang dilakukan. Dalam hal berasuransi, seorang nasabah mendapatkan manfaat beruba perlindungan atau proteksi atau rasa aman, sedangkan perusahaan asuransi mendapatkan manfaat berupa laba usaha. Secara sederhana, laba perusahaan asuransi diperoleh dari total pendapatan premi dikurangi klaim yang dibayarkan kepada nasabah dan biaya operasional. Jadi, mirip dengan sistem lumbung desa atau kas desa, perusahaan asuransi mengumpulkan dana dari masyarakat dan memberikan manfaat kepada setiap pembayar polis yang menghadapi risiko tertentu. Hanya saja, untuk pekerjaan itu perusahaan asuransi berharap dan berpeluang mendapatkan keuntungan. Karena itu perusahaan asuransi hanya mau menanggung risiko yang bisa diperhitungkan. Sedangkan risiko yang tidak bisa diperhitungkan seperti kematian dalam perang atau kematian karena wabah, misalnya, akan ditolak oleh perusahaan asuransi. Kalaupun kemudian ada perusahaan asuransi yang berani menanggung risiko jenis ini, maka manfaatnya akan disesuaikan dengan membandingkan risiko yang terjadi dan risiko yang diperkirakan terjadi.
Dalam perkembangannya, asuransi dikategorikan dalam dua kelompok besar, yakni asuransi umum (dulu pernah disebut asuransi kerugian) dan asuransi jiwa. Sebenarnya keduanya mempunyai inti bisnis yang sama, yakni pengalihan risiko. Yang membedakan antara keduanya hanyalah bahwa yang pertama menyangkut risiko-risiko atas aset, sedangkan yang kedua menyangkut risiko-risiko atas hidup dan jiwa seseorang. Asuransi umum kemudian dikemas dalam berbagai produk seperti asuransi kebakaran, asuransi kendaraan bermotor, asuransi bencana alam, asuransi angkutan dll, sedangkan asuransi jiwa dikemas dalam produk-produk seperti asuransi berjangka, asuransi purnawaktu, asuransi pendidikan dll.

Bukan Ganti Untung
Salah satu filosofi yang perlu diingat dalam berasuransi adalah bahwa tugas perusahaan asuransi adalah mengambil alih dan menanggung risiko nasabahnya. Berapa besar risiko yang dijamin oleh perusahaan asuransi? Dalam hal ini batasannya jelas, yakni sebesar risiko yang dihadapi oleh nasabah, dan maksimal sebesar uang yang dipertanggungkan. Mengenai hal ini ada dua hal yang perlu dicermati.
Pertama, tugas perusahaan asuransi adalah memberikan ganti rugi sebesar tingkat kerugian yang secara riil dihadapi oleh nasabah (prinsip indemnitas). Dengan kata lain, tugas perusahaan asuransi adalah mengembalikan kondisi ekonomi nasabah seperti sesaat sebelum risiko terjadi. Misalnya saja seorang nasabah mengasuransikan rumah tinggalnya dengan asuransi kebakaran, dengan uang pertanggungan Rp200 juta. Dalam waktu yang dipertanggungkan, bagian dapur rumah terbakar, dan total kerugiannya adalah Rp50 juta. Dalam kondisi seperti itu perusahaan asuransi hanya akan membayar kerugian sebesar Rp50 juta, sehingga kondisi ekonomi tertanggung akan kembali seperti sesaat sebelum kebakaran terjadi. Bahkan kalau rumah tersebut diasuransikan dua kali (di dua perusahaan asuransi yang berbeda), nasabah itu tetap hanya akan menerima ganti rugi total sebesar Rp50 juta, bukan dua kali Rp50 juta.
Kedua, perusahaan asuransi akan membayar kerugian maksimal sebesar uang pertanggungan, karena premi yang kita bayarkan maksimal hanya cukup untuk itu. Jadi dengan contoh di atas, kalau seluruh rumah terbakar dan total kerugian adalah Rp300 juta, maka ganti rugi yang kita peroleh tetap Rp200 juta. Dan kalau kita mempunyai dua polis masing-masing dengan uang pertanggungan Rp200 juta, baru kita akan mendapatkan ganti rugi total sebesar Rp300 juta.
Persoalannya, bagaimana risiko atas hidup seseorang dihitung? Dengan kata lain, bagaimana menghitung pertanggungan yang tepat untuk asuransi jiwa? Uang Pertanggungan asuransi jiwa dihitung berdasarkan berapa “manfaat ekonomi” orang yang dipertanggungkan (misalnya kepala keluarga) bagi keluarganya. Tentu saja akan sulit untuk mendapatkan hitungan yang obyektif, sehingga kemudian uang pertanggungan akan ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan asuransi dengan nasabah. Calon nasabah bisa menetapkan uang pertanggungan setinggi mungkin dan premi yang harus dibayarkan akan mengikuti secara proporsional. Dan perlu dicatat, sistem pembayaran klaim dalam asuransi jiwa tidak menganut prinsip indemnitas seperti yang ada pada asuransi umum. Begitu tertanggung meninggal dunia sesuai dengan kriteria dalam polis, maka ahli waris akan mendapatkan klaim penuh sebesar uang pertanggungan.

Salah Kaprah
Dalam menyikapi dunia asuransi, yang banyak dipersoalkan oleh nasabah, terutama di Indonesia, adalah definisi dari manfaat berasuransi. Sebagian besar masyarakat kita mempersoalkan, kemana larinya premi yang sudah dibayarkan kepada perusahaan asuransi. Mereka merasa menyetorkan iuran (premi) secara rutin, tetapi mengapa mereka tidak menerima apa-apa kalau tidak terjadi apa-apa. Pertanyaan itu tidak hanya menyangkut industri asuransi jiwa, tetapi juga asuransi kerugian. Masyarakat mempertanyakan itu dengan pemikiran bahwa karena sudah menyetorkan dana, maka dia berhak mendapatkan dananya kembali.
Persoalan itu jelas dilatarbelakangi oleh kekurangpahaman terhadap mekanisme yang ada dalam industri asuransi. Masyarakat lupa bahwa produk yang dibeli dari perusahaan asuransi adalah proteksi dan perlindungan, sesuatu yang memang tidak kasat mata. Masyarakat lupa bahwa sepanjang periode yang diperjanjikan (satu tahun atau jangka waktu lain yang diperjanikan) mereka sudah menikmati proteksi dan rasa aman. Nyatanya, kalau terjadi risiko yang diperjanjikan, menurut mekanismenya perusahaan asuransi akan membayar ganti rugi.
Namun di lain pihak memang tidak mudah untuk menyadarkan masyarakat bahwa jasa yang dibeli berupa proteksi itu sudah dinikmati. Bagi sebagian cukup besar anggota masyarakat, yang namanya manfaat dari perusahaan asuransi adalah ketika mereka menerima sejumlah uang. Karena itu kalangan perusahaan asuransi memutar otak untuk menyiasati tuntutan masyarakat seperti itu. Banyak perusahaan asuransi umum yang memberikan bonus kalau sepanjang waktu tertentu tidak terjadi klaim. Padahal bonus yang dibayarkan tidak lain juga berasal dari nasabah sendiri. Artinya, kalau mekanisme bonus itu tidak ada, premi yang harus dibayar oleh nasabah bisa jadi akan jauh lebih murah.
Sementara itu perusahaan asuransi jiwa menyiasati tuntutan itu dengan cara lain, yakni menggabungkan produk asuransi dengan produk tabungan, dan di kemudian hari juga digabung dengan produk investasi. Untuk itu premi yang harus dibayar oleh nasabah sebenarnya terdiri dari dua komponen. Sebagian dari premi itu akan dialokasikan untuk asuransi (membayar klaim bila terjadi risiko), dan sebagian lainnya akan dialokasikan entah untuk tabungan entah untuk investasi. Berapa persen porsi untuk masing-masing? Ini sangat tergantung pada cara perusahaan asuransi mengemas produknya. Kalau perusahaan asuransi ingin memperlihatkan bahwa uang pertanggungannya (misalnya tertanggung meninggal) besar, maka porsi preminya akan cukup besar. Tapi kalau perusahaan ingin memperlihatkan bahwa uang tunainya akan besar, maka porsi preminya akan lebih kecil.
Perkembangan ini tentu merugikan nasabah yang ingin membeli proteksi murni. Namun sekarang relatif sulit untuk mendapatkan produk asuransi jiwa yang murni di pasaran, yang tidak digabung dengan produk tabungan (dwiguna) atau dengan produk investasi (unit linked). Di sinilah seorang calon nasabah yang tidak mempunyai perencanaan yang baik bisa terjebak, terutama oleh ilustrasi yang disajikan oleh agen asuransi jiwa. Kini jarang ada agen asuransi jiwa yang menjelaskan bagian terpenting dari asuransi jiwa, yakni soal risiko dan proteksi. Agen lebih banyak berbicara mengenai berapa besar nilai tunai yang mungkin diperoleh oleh calon nasabah, sehingga nasabah yang tidak paham bisa terjebak untuk membeli sesuatu yang tidak perlu.

Rabu, 02 Januari 2008

Perkenalan di Tahun Baru 2008

Hai teman teman,
Saya Perencana keuangan keluarga yang ingin membantu para keluarga untuk mengoptimalkan penghasilan yang dimiliki setiap keluarga. Jika tahun lalu kita pusing dengan kurangnya sumber dana dan banyaknya kebutuhan, maka tahun 2008 ini akan kita tutup permasalahan kekurangan dengan mengelola penghasilan yang ada.

Saya yakin, problem terbesar dibanyak keluarga bukanlah masalah penghasilan yang bisa ditakar atau pengeluaran yang bisa diatur, namun optimalisasi penghasilan ( berkat ) yang harus kita tingkatkan.

Selamat tahun baru dan kita mulai reolusi 2008 dengan mengoptimalkan penghasilan keluarga.